Monday, August 10, 2009

Mewaspadai Jebakan Saham Murah

Investor tentu cenderung memburu saham yang memiliki valuasi harga masih murah, entah dari sisi price to book value (PBV), price to earning ratio (PER), ataupun enterprise value per earning before interest, tax, depreciation, and amortization (EV/EBITDA). Tapi, investor perlu mewaspadai jebakan saham murah alias value trap.

VALUE trap adalah saham yang mengalami penurunan harga sangat dalam. Banyak yang mengartikannya sebagai saham berharga murah sehingga investor terdorong memburu saham seperti ini. Harapannya, harga saham itu segera naik. Namun, namanya juga jebakan. Banyak investor acap bernasib sial karena harga saham itu tetap mogok, bahkan menurun terus.

Sebenarnya, investor bisa mengenali ciri-ciri umum value trap. Dengan begitu investor dapat menghindari jebakan saham murah. Berikut ini beberapa cara mengenali value trap:

Pertama, harga saham tadi tetap murah, entah secara PBV, PER, maupun EV/EBITDA, meski sudah lama melantai di bursa saham. Boleh jadi, saham ini milik perusahaan yang tak memiliki masa depan.

Ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Perusahaan itu mungkin kesulitan menghasilkan laba secara konsisten dan menguntungkan para investornya. Kemungkinan lain, manajemen perusahaan itu enggan memberi keterbukaan informasi tentang kondisi perusahaannya. Bisa jadi pula kompetisi dengan pemain lain sangat ketat sehingga perusahaan ini tidak bisa menonjol di antara pesaing-pesaingnya.

Kedua, perusahaan atau saham yang minim berita positif. Harga saham memerlukan katalisator untuk bergerak naik. Jika suatu perusahaan tidak menghasilkan produk baru, tidak mengungkapkan proyeksi pertumbuhan laba, investor sebaiknya berpikir untuk menghindari sahamnya.

Investor sebaiknya mengecek riwayat kinerja keuangan perusahaan itu. Jangan hanya melihat hasil akhir atau laba bersihnya, tapi lihatlah kinerja operasionalnya. Jika kinerja operasionalnya tak tumbuh, perusahaan itu mungkin sedang kesulitan. Ujungnya, perusahaan juga akan sulit memberikan keuntungan bagi pemegang sahamnya.

Ketiga, investor sebaiknya menjauhi saham yang porsi saham publiknya terlalu kecil dengan harga terlalu murah. Biasanya, saham seperti ini susah sekali bergerak.

Investor institusi, seperti pengelola reksadana, asuransi atau dana pensiun, umumnya menetapkan standar pembelian saham. Misalnya, mereka hanya membeli saham berharga minimal Rp 1.000 per saham, menghindari saham perusahaan berpendapatan kurang dari Rp 1 miliar setahun. Lantaran tidak ada investor besar atau investor institusi yang berpartisipasi di saham ini, saham seperti ini akan menjadi value trap.


Published: KONTAN, 1 Agustus 2009

Rasio EV/EBITDA

Enterprise value (EV) merupakan rumus yang lebih baik bagi penentuan nilai suatu perusahaan publik daripada price to earning ratio (P/E). Sebab, EV juga memasukkan unsur utang. Analis atau investor bisa menggunakan EV untuk menentukan harga saham perusahaan. Seringkali, analis atau investor memakai perbandingan EV dengan EBITDA (EV/EBITDA).


EBITDA adalah singkatan dari earning before interest, tax, depreciation, and amortization atau laba sebelum dikurangi beban bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi. Jadi, sudah pasti nilai EBITDA lebih besar ketimbang laba bersih.

Ada beberapa alasan mengapa investor atau analis memakai rumus EV dibagi EBITDA (EV/EBITDA). Di antaranya, rasio ini berguna untuk membandingkan perusahaan publik lintasnegara. Sebab, rumus ini meniadakan efek distorsi kebijakan pajak yang hanya berlaku di suatu negara.

Selain itu, rumus ini berguna untuk menemukan calon sasaran akuisisi yang masih menarik. Sekali lagi, EV adalah rumus yang lebih baik ketimbang kapitalisasi pasar untuk menghitung nilai perusahan. Sebab, EV juga memasukkan unsur utang.

Perusahaan yang memiliki EV/EBITDA rendah bisa dipandang sebagai calon sasaran akuisisi yang baik atau tempat investasi yang baik. Jangan lupa, bandingkan EV sasaran dengan EV emiten lain atau industri.

Untuk membuktikan rumus EV/EBITDA lebih baik dalam menentukan nilai perusahaan ketimbang kapitalisasi pasar, mari ambil saham Google dan Wal-Mart sebagai contoh.

Pada 23 Oktober 2007, kapitalisasi pasar Google sudah lebih besar daripada Wal-Mart. Padahal, Wal-Mart merupakan perusahaan yang lebih besar. Saat itu, kapitalisasi pasar Google mencapai US$ 210,93 miliar sementara Wal-Mart US$ 178,72 miliar. Jadi, ada perbedaan sekitar US$ 32,21 miliar.

Adapun, EV Google US$ 190,62 miliar sedangkan EV Wal-Mart lebih besar, yakni US$ 221,04 miliar. Alhasil, EV/EBITDA Google 37,22 kali dan Wal-Mart 8,21 kali. Ini berarti, investor bersedia membayar tinggi untuk perusahaan yang tumbuh pesat seperti Google.

Tapi, secara fundamental, Wal-Mart sebenarnya lebih baik. Lantaran nilai sahamnya melaju jauh melebihi nilai perusahaan, investasi di saham Google pun memiliki risiko lebih tinggi. Ini terlihat ketika tahun lalu krisis finansial menghajar pasar saham Amerika Serikat (AS).

Pada 20 November 2008, kapitalisasi pasar Google tersisa US$ 81,65 miliar atau anjlok 61%. Tapi, kapitalisasi pasar Wal-Mart masih tumbuh 11% menjadi US$ 199,14 miliar. EV Google turun dalam menjadi US$ 73,73 miliar sedangkan EV Wal-Mart masih naik menjadi US$ 241,63 miliar. Otomatis, EV/EBITDA Google menukik 74% menjadi 9,67 sementara EV/EBITDA Wal-Mart turun 2,6%menjadi 7,99 kali.


Published: KONTAN, 18 Juli 2009

Enterprise Value (EV)

Enterprise value (EV) adalah salah satu indikator yang membantu investor menentukan nilai suatu perusahaan. EV bisa memberikan gambaran lebih akurat tentang nilai perusahaan ketimbang kapitalisasi pasar dari suatu perusahaan.



UNTUK mencari saham yang masih murah, investor kerap memakai indikator rasio harga saham terhadap nilai buku atau price to book value (PBV) dan perbandingan harga saham terhadap laba bersih atau price to earning ratio (PER). Tapi, investor sebenarnya juga bisa memakai nilai perusahaan atau enterprise value (EV) sebagai indikator.

Bahkan, rasio EV terhadap nilai buku (EV/B) atau laba bersih (EV/E) suatu perusahaan bisa lebih akurat menggambarkan nilai suatu perusahaan ketimbang PBV dan PER. Sebab, EV tidak hanya menghitung kapitalisasi pasar suatu saham, namun juga ikut menghitung utang, kas, serta hak minoritas suatu emiten.

Kapitalisasi pasar, yang berasal dari hasil pengalian harga saham dengan jumlah saham, sejatinya tidak lebih dari label harga dari suatu perusahaan. Sedangkan EV mencerminkan nilai sebenarnya dari suatu perusahaan. EV mencerminkan kemampuan sebuah perusahaan menghasilkan arus kas positif di masa-masa mendatang.

Karena itu, transaksi akuisisi lebih sering memakai indikator EV ketimbang harga pasar. Sebab setelah mengakuisisi suatu perusahaan, si pengakuisisi juga harus membayar utang perusahaan yang diakuisisinya.

Cara menghitung EV adalah menambahkan kapitalisasi pasar dengan utang, dikurangi total kas bersih neraca perusahaan. Adapun, kas bersih adalah kas dan setara kas dikurangi kewajiban lancar yang telah dikurangi aset lancar. Jika nilai aset lancar lebih besar daripada kewajiban lancar, tidak ada penyesuaian dalam hitungan kas bersih. Dengan kata lain, kas bersih diambil dari angka kas dan setara kas di neraca.

Ambil contoh, harga saham perusahaan XYZ adalah Rp 10 per saham dan jumlah saham yang beredar 20 juta saham. Jadi, kapitalisasi pasarnya Rp 200 juta. Neraca keuangan XYZ menunjukkan perusahaan ini memiliki kas bersih Rp 150 juta dan utang senilai Rp 50 juta. Alhasil, EV perusahaan XYZ adalah Rp 100 juta (Rp 200 juta + Rp 50 juta - Rp 150 juta).

Bayangkan, ada dua perusahaan sama-sama memiliki kapitalisasi pasar Rp 200 juta. Keduanya juga tidak memiliki utang. Tapi, perusahaan ABC tidak punya kas di tangan, sedangkan XYZ mempunyai kas Rp 150 juta. Tentu, investor akan memilih membeli perusahaan XYZ. Sebab, pada prinsipnya, investor hanya membeli XYZ seharga Rp 50 juta karena ia langsung menerima kas Rp 150 juta.

Atau, bisa jadi, kondisi ABC dan XYZ punya kapitalisasi pasar sama besar dan kas sama besar. Tapi, ABC mempunyai utang sedangkan XYZ tidak. Logikanya, investor akan memilih perusahaan yang tanpa utang.

Nilai perusahaan juga bisa negatif. Itu berarti, perusahaan mempunyai total kas lebih besar ketimbang kapitalisasi pasar dan utangnya. Kondisi ini menguntungkan bagi investor. Sebab, perusahaan lebih leluasa berekspansi di masa mendatang.


Published: KONTAN, 11 Juli 2009

Price to Earning Rasio atau P/E

Sulit menyangkal, price to earning ratio (PER) alias P/E adalah angka yang paling populer dan paling penting dalam menganalisis nilai pasar suatu saham. Tentu saja, P/E tidak bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi sebuah perusahaan. Namun, investor dan analis menganggap P/E sebagai rasio yang paling mampu mencerminkan kinerja suatu perusahaan.


PRICE to Earning ratio atau kerap disingkat P/E dipopulerkan oleh mendiang Benjamin Graham. Di dunia investasi, Graham telah dianggap sebagai Father of Value Investing alias Bapak Investasi sekaligus mentor Warren Buffet. Graham mengajarkan, P/E adalah salah satu cara tercepat dan termudah untuk menentukan suatu saham diperdagangkan untuk tujuan investasi atau hanya untuk spekulasi.

Definisi price to earning ratio adalah perbandingan antara harga saham dengan laba bersih per saham dari suatu perusahaan.

Itu berarti, sebelum bisa menghitung P/E, investor harus lebih dulu mengetahui laba bersih per saham atau earning per share (EPS). Cara menghitung EPS adalah membagi laba bersih suatu perusahaan dengan jumlah saham yang beredar.

Contohnya, perusahaan XYZ pada semester pertama 2009 membukukan laba bersih senilai Rp 100 miliar. Adapun, jumlah saham yang beredar mencapai 10 miliar saham. Berarti, laba bersih per sahamnya adalah Rp 10 (Rp 100 miliar : 10 miliar).

Jika EPS sudah ketemu, investor akan dengan mudah menentukan P/E dari saham XYZ, yakni tinggal menghitung harga saham dibagi laba bersih per sahamnya.

Taruhlah, kemarin saham XYZ berada pada harga Rp 100 per saham. Itu berarti, P/E saham XYZ adalah 10 kali (Rp 100 : Rp 10). P/E 10 kali berarti harga saham XYZ ditransaksikan pada 10 kali laba bersihnya.

Lantas, bagaimana memakai angka P/E tersebut untuk menentukan nilai atau valuasi suatu saham? Tentu saja, untuk menentukan suatu saham masih murah atau sudah malah, kita harus membandingkan P/E saham tersebut dengan P/E industri atau P/E saham perusahaan lain yang bergerak di sektor yang sama.

Umumnya, investor beranggapan, jika P/E saham XYZ tadi lebih rendah ketimbang P/E industri atau saham perusahaan lain, saham XYZ masih murah sehingga layak dibeli. Tapi, penilaian ini bisa saja salah. Sebab, P/E yang lebih rendah kadangkala mengindikasikan kinerja buruk atau suatu masalah di perusahaan itu.

Sebaliknya, P/E yang lebih tinggi sering diartikan harga sahamnya sudah mahal dan tak lagi cukup menguntungkan jika dibeli. Tapi, bisa jadi, P/E yang tinggi mencerminkan ekspektasi kinerja perusahaan ke depan akan jauh lebih bagus daripada kondisi saat ini. Alhasil, investor berharap harga sahamnya akan naik. Karena ekspektasi ini, investor bersedia membayar lebih tinggi ketimbang saham lain.


Published: KONTAN, 27 Juni 2009

Price to Book Value

Price to Book Value (PBV) atau rasio harga saham terhadap nilai buku termasuk salah satu alat ukuran para investor atau analis dalam menentukan harga suatu saham masih murah atau sudah mahal. Apa sebenarnya price to book value tersebut?



PRICE to Book Value (PBV) adalah perbandingan nilai pasar suatu saham dengan nilai buku perusahaan penerbit saham tersebut.

Cara menghitung PBV sangat mudah, yakni harga saham terakhir dibagi dengan nilai buku per saham yang diperoleh dari laporan keuangan terakhir suatu perusahaan.

Contohnya, harga saham perusahaan XYZ pada penutupan bursa kemarin berada di posisi Rp 500 per saham. Adapun, nilai buku per saham perusahaan XYZ ini adalah Rp 1.500 per saham. Jadi, PBV perusahaan XYZ adalah tiga kali (Rp 1.500 : Rp 500). Artinya, harga transaksi saham XYZ di pasar adalah tiga kali dari nilai buku per saham.

Nah, nilai buku sendiri berarti nilai aset bersih suatu perusahaan. Nilai buku tadi mencerminkan nilai aset sesungguhnya yang akan diterima para investor seandainya perusahaan tersebut bangkrut.

Ada dua macam pendekatan dalam menghitung nilai buku sebuah perusahaan. Pertama, total aset yang terdapat di neraca dikurangi dengan seluruh kewajiban perusahaan yang juga terdapat di neraca. Kedua, total aset tidak cuma dikurangi dengan seluruh kewajiban, tapi juga dikurangi aset non-fisik (intangible), seperti goodwill dan paten.

Terkadang, jika kita memasukkan aset non-fisik ini ke dalam komponen pengurang aset tadi, pengaruhnya akan cukup signifikan terhadap nilai PBV. Terutama, di perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor jasa dan teknologi yang ditentukan oleh tingkat kepercayaan konsumennya. Karena itu, investor mesti mengetahui persis pendekatan yang dipakai untuk menghitung PBV sebelum membuat keputusan investasi.

PBV bisa menentukan harga suatu saham masih murah atau sudah mahal jika ada pembanding PBV saham lain di sektor sama, dengan pendekatan penghitungan yang sama pula.

Tapi, sebagian analis berpendapat, PBV tak terlalu bermanfaat untuk menentukan valuasi suatu saham. Sebab, PBV menggunakan data-data yang sudah lampau. Sedangkan, investasi mestinya berorientasi pada prospek kinerja fundamental suatu perusahaan di masa mendatang.


Published: KONTAN, 20 Juni 2009

Dividend Yield

Juni ini boleh dibilang menjadi musim panen dividen. Krisis ternyata tak menghalangi perusahaan-perusahaan untuk membagikan dividen kepada para investornya. Guna mengukur seberapa menguntungkan dividen yang dibagikan, analis kerap memakai rasio bernama dividend yield. Apa sejatinya dividend yield?


DIVIDEND yield atau imbal hasil dividen adalah rasio nilai dividen terhadap harga saham. Dengan asumsi tidak ada kenaikan harga saham, dividend yield mencerminkan tingkat keuntungan investasi di suatu saham.

Dividend yield penting terutama bagi investor yang berorientasi pada penghasilan reguler. Caranya, Anda bisa membeli saham emiten yang memberi dividend yield tinggi dan rutin setiap tahun. Cara menghitung dividend yield cukup mudah. Yakni, membagi nilai dividen tahunan per saham dengan harga saham saat ini.

Ambil contoh, perusahaan ABC dan XYZ selalu membagi dividen. Tahun ini, ABC dan XYZ akan membagikan dividen final masing-masing Rp 10 per saham. Kini, harga saham ABC Rp 1.000 per saham dan harga saham XYZ Rp 2.000 per saham. Berarti, dividend yield saham ABC adalah 1% (10 : 1.000). Sedangkan, dividend yield saham XYZ cuma 0,5% (10 : 2.000).

Jika semua faktor lain setara, investor cenderung membeli saham ABC daripada XYZ. Sebab, saham ABC memberi laba lebih tinggi.

Dividend yield yang tinggi bisa berarti harga sahamnya masih murah atau dividen berikutnya mungkin akan lebih rendah. Sebaliknya, dividend yield yang rendah bisa berarti harga sahamnya sudah mahal atau dividen berikutnya bisa lebih tinggi.

Jadi, berapa patokan wajar dividend yield? Secara umum, dividend yield yang wajar adalah 2/3 yield obligasi berperingkat A. Jika kini yield obligasi berating A di Indonesia 12%, dividend yield yang wajar adalah sebesar 8%.


Published: KONTAN, 6 Juni 2009