Thursday, August 19, 2010

Grup Bakrie Bukan Lagi Motor Bursa

Tahun 2008, saham-saham emiten dari grup Bakrie sempat menjadi penggerak utama Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun, hari ini (19/8) saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, saham-saham yang beken dengan julukan Seven Brothers justru terpuruk.

Kamis (19/8), IHSG mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah di 3.105,35, naik 1,08% dari penutupan hari sebelumnya. Jadi, sepanjang tahun ini, indeks sudah memberi keuntungan 22,53%. Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Gudang Garamg Tbk (GGRM), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP), PT Astra International Tbk (ASII), dan pendatang baru PT Berau Coal Tbk (BRAU) menjadi pendorong kenaikan indeks hari ini.

Sekitar dua tahun silam, saham-saham grup Bakrie begitu bertaji dalam menentukan hijau merahnya IHSG. Tapi roda nasib Seven Brothers sekarang sudah berputar ke bawah. Saat sebagian besar harga saham melaju, harga saham tujuh emiten dari grup Bakrie justru terkapar.

Bahkan, lima dari tujuh samurai Bakrie tersebut jatuh di harga terendah mereka tahun ini. Mereka adalah PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Bakrieland Development Tbk (ELTY), PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk (UNSP), PT Darma Henwa Tbk (DEWA), dan PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Meski juga turun, harga saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) dan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) tidak jatuh ke level terendahnya tahun ini.

Hari ini, harga saham BUMI terjun 9,79% menjadi Rp 1.290 per saham. Dibandingkan harga saham tertingginya Rp 8.550 per saham pada 12 Juni 2008, emiten kebanggaan grup Bakrie ini sudah turun 84,91%.

Harga saham ELTY terpangkas 4,95% tinggal Rp 96 per saham. Padahal, pada 28 Februari 2008, ELTY mencapai harga tertingginya di Rp 680 per saham. Jadi, harganya sudah diskon 85,88%.

Harga saham UNSP anjlok 9,62% menjadi Rp 235 per saham. Jadi, saham ini sudah jatuh 91,51%
dari harga tertingginya, Rp 2.769 per saham, pada 14 Januari 2008.

Senasib, harga saham DEWA terkoreksi 7,27% menjadi Rp 51 per saham. Saham ini pernah dihargai paling mahal di Rp 615 per saham pada 28 Desember 2007. Jadi kini nilainya sudah berkurang sekitar 91,71%.

Sementara saham BNBR sudah sekitar sebulan terakhir tidak beranjak dari level terendahnya di harga 50 perak. Padahal, induk usaha grup Bakrie ini pernah dihargai Rp 718 per saham pada 15 Februari 2008. Hitung punya hitung, nilai saham ini sudah menyusut 93,04%.

Saham BTEL juga tak beranjak dari harga Rp 148 per saham. Tapi, jika dibandingkan dengan harga tertingginya di Rp 407 per saham pada 4 Januari 2008, harga saham ini sudah terpangkas 63,64%.

Terakhir, harga saham ENRG terdiskon 17,17% menjadi Rp 82 per saham. Harga ini lebih murah 94,21% ketimbang harga tertingginya pada 9 Januari 2008 di Rp 1.415 per saham.

Melihat sepak terjang Tujuh Bersaudara belakangan ini, investor yang telanjur menggenggam saham mereka agaknya hanya bisa pasrah. Kekeliruan pencatatan data keuangan, serangkaian aksi rights issue berikut rencana utang seolah memupus harapan harga Seven Brothers untuk naik lagi.

Monday, August 10, 2009

Mewaspadai Jebakan Saham Murah

Investor tentu cenderung memburu saham yang memiliki valuasi harga masih murah, entah dari sisi price to book value (PBV), price to earning ratio (PER), ataupun enterprise value per earning before interest, tax, depreciation, and amortization (EV/EBITDA). Tapi, investor perlu mewaspadai jebakan saham murah alias value trap.

VALUE trap adalah saham yang mengalami penurunan harga sangat dalam. Banyak yang mengartikannya sebagai saham berharga murah sehingga investor terdorong memburu saham seperti ini. Harapannya, harga saham itu segera naik. Namun, namanya juga jebakan. Banyak investor acap bernasib sial karena harga saham itu tetap mogok, bahkan menurun terus.

Sebenarnya, investor bisa mengenali ciri-ciri umum value trap. Dengan begitu investor dapat menghindari jebakan saham murah. Berikut ini beberapa cara mengenali value trap:

Pertama, harga saham tadi tetap murah, entah secara PBV, PER, maupun EV/EBITDA, meski sudah lama melantai di bursa saham. Boleh jadi, saham ini milik perusahaan yang tak memiliki masa depan.

Ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Perusahaan itu mungkin kesulitan menghasilkan laba secara konsisten dan menguntungkan para investornya. Kemungkinan lain, manajemen perusahaan itu enggan memberi keterbukaan informasi tentang kondisi perusahaannya. Bisa jadi pula kompetisi dengan pemain lain sangat ketat sehingga perusahaan ini tidak bisa menonjol di antara pesaing-pesaingnya.

Kedua, perusahaan atau saham yang minim berita positif. Harga saham memerlukan katalisator untuk bergerak naik. Jika suatu perusahaan tidak menghasilkan produk baru, tidak mengungkapkan proyeksi pertumbuhan laba, investor sebaiknya berpikir untuk menghindari sahamnya.

Investor sebaiknya mengecek riwayat kinerja keuangan perusahaan itu. Jangan hanya melihat hasil akhir atau laba bersihnya, tapi lihatlah kinerja operasionalnya. Jika kinerja operasionalnya tak tumbuh, perusahaan itu mungkin sedang kesulitan. Ujungnya, perusahaan juga akan sulit memberikan keuntungan bagi pemegang sahamnya.

Ketiga, investor sebaiknya menjauhi saham yang porsi saham publiknya terlalu kecil dengan harga terlalu murah. Biasanya, saham seperti ini susah sekali bergerak.

Investor institusi, seperti pengelola reksadana, asuransi atau dana pensiun, umumnya menetapkan standar pembelian saham. Misalnya, mereka hanya membeli saham berharga minimal Rp 1.000 per saham, menghindari saham perusahaan berpendapatan kurang dari Rp 1 miliar setahun. Lantaran tidak ada investor besar atau investor institusi yang berpartisipasi di saham ini, saham seperti ini akan menjadi value trap.


Published: KONTAN, 1 Agustus 2009

Rasio EV/EBITDA

Enterprise value (EV) merupakan rumus yang lebih baik bagi penentuan nilai suatu perusahaan publik daripada price to earning ratio (P/E). Sebab, EV juga memasukkan unsur utang. Analis atau investor bisa menggunakan EV untuk menentukan harga saham perusahaan. Seringkali, analis atau investor memakai perbandingan EV dengan EBITDA (EV/EBITDA).


EBITDA adalah singkatan dari earning before interest, tax, depreciation, and amortization atau laba sebelum dikurangi beban bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi. Jadi, sudah pasti nilai EBITDA lebih besar ketimbang laba bersih.

Ada beberapa alasan mengapa investor atau analis memakai rumus EV dibagi EBITDA (EV/EBITDA). Di antaranya, rasio ini berguna untuk membandingkan perusahaan publik lintasnegara. Sebab, rumus ini meniadakan efek distorsi kebijakan pajak yang hanya berlaku di suatu negara.

Selain itu, rumus ini berguna untuk menemukan calon sasaran akuisisi yang masih menarik. Sekali lagi, EV adalah rumus yang lebih baik ketimbang kapitalisasi pasar untuk menghitung nilai perusahan. Sebab, EV juga memasukkan unsur utang.

Perusahaan yang memiliki EV/EBITDA rendah bisa dipandang sebagai calon sasaran akuisisi yang baik atau tempat investasi yang baik. Jangan lupa, bandingkan EV sasaran dengan EV emiten lain atau industri.

Untuk membuktikan rumus EV/EBITDA lebih baik dalam menentukan nilai perusahaan ketimbang kapitalisasi pasar, mari ambil saham Google dan Wal-Mart sebagai contoh.

Pada 23 Oktober 2007, kapitalisasi pasar Google sudah lebih besar daripada Wal-Mart. Padahal, Wal-Mart merupakan perusahaan yang lebih besar. Saat itu, kapitalisasi pasar Google mencapai US$ 210,93 miliar sementara Wal-Mart US$ 178,72 miliar. Jadi, ada perbedaan sekitar US$ 32,21 miliar.

Adapun, EV Google US$ 190,62 miliar sedangkan EV Wal-Mart lebih besar, yakni US$ 221,04 miliar. Alhasil, EV/EBITDA Google 37,22 kali dan Wal-Mart 8,21 kali. Ini berarti, investor bersedia membayar tinggi untuk perusahaan yang tumbuh pesat seperti Google.

Tapi, secara fundamental, Wal-Mart sebenarnya lebih baik. Lantaran nilai sahamnya melaju jauh melebihi nilai perusahaan, investasi di saham Google pun memiliki risiko lebih tinggi. Ini terlihat ketika tahun lalu krisis finansial menghajar pasar saham Amerika Serikat (AS).

Pada 20 November 2008, kapitalisasi pasar Google tersisa US$ 81,65 miliar atau anjlok 61%. Tapi, kapitalisasi pasar Wal-Mart masih tumbuh 11% menjadi US$ 199,14 miliar. EV Google turun dalam menjadi US$ 73,73 miliar sedangkan EV Wal-Mart masih naik menjadi US$ 241,63 miliar. Otomatis, EV/EBITDA Google menukik 74% menjadi 9,67 sementara EV/EBITDA Wal-Mart turun 2,6%menjadi 7,99 kali.


Published: KONTAN, 18 Juli 2009